Mumpung lagi musim panen, saya ingin menyoroti fenomena yang terjadi di Desa Cidenok, khususnya untuk kalangan buruh tani. Ya, seperti desa-desa lain yang memang mayoritas penduduknya bermata pencaharian utama sebagai petani, fenomena menjamurnya tengkulak dan rentenir tukang ijon di musim panen dalam kehidupan buruh tani di Desa Cidenok bukan barang baru lagi. Sudah sejak lama mereka menguasai ekonomi masyarakat dengan perputaran uangnya yang menjerat leher para buruh tani. Oke, untuk tengkulak memang nyaris tak terasa daya rusaknya bagi perekonomian para buruh tani. Kalaupun ada, paling sebatas bahwa mereka mematok harga jual gabah tidak semata berdasarkan harga gabah yang ditentukan oleh Bulog misalnya, tapi lebih kepada kesepakatan antar tengkulak saja. Dan ini bukan semata kesalahan mereka, tapi karena lebih kepada keengganan beberapa pihak seperti misalnya pemerintahan Desa dan atau siapalah yang kompeten dengan hal-hal yang berhubungan dengan soal pertanian dan kemakmuran petani untuk mengkoordinir mereka dalam satu wadah hingga hasil panen para petani (baik buruh maupun pemilik lahan) bisa mengakses Bulog misalnya untuk menjual hasil panen mereka.
Makanya tak heran, lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan pertanian seperti Lumbung Pangan yang ada di Desa Cidenok cuma menjadi seonggok bangunan tak berguna karena pengurusnya entah siapa dan apa saja yang mereka kerjakan. Kalau saja lembaga macam Lumbung Pangan itu benar-benar berfungsi, setidaknya para petani itu bisa menjual hasil panennya ke Lumbung Pangan itu atau orang-orang yang terlibat didalamnya bisa mengusahakan untuk memfasilitasi para petani agar bisa menjual sendiri hasil panennya dengan harga yang lebih baik ke lembaga-lembaga pemerintah yang memang mengkhususkan diri untuk menampung bahan pangan, dan bukannya ke para tengkulak yang bisa mematok harga sesuka mereka.
Dan yang kedua dan paling kentara daya rusaknya bagi perekonomian para buruh tani adalah tukang ijon. Menjelang musim panen tiba mereka memberi pinjaman yang besarnya tentu saja jauh dibawah harga gabah, untuk kemudian ketika musim panen tiba mereka akan mengambil pinjaman itu dengan gabah yang juga harganya tentu saja mereka yang tentukan. Tukang ijon, rentenir musiman atau apapun saja sebutannya, kita akui atau tidak, tetap laku dan diburu banyak orang desa. Ibarat lagu dibenci tapi disuka. Dicaci tapi dinanti. Dan ini sekali lagi menjadi PR kita yang peduli dengan nasib orang-orang kecil ini, bagaimana caranya mampu menyediakan tempat atau lembaga simpan pinjam yang dapat diakses dengan mudah oleh para buruh tani ini, karena kenyataannya para buruh tani ini pilihan hidupnya serba terbatas, termasuk pilihan tempat untuk meminjam uang dengan mudah dan cepat. Lembaga keuangan seperti bank masih jadi barang “mewah” bagi mereka. Membayangkan bank seperti membayangkan sesuatu yang tak terjangkau tangan dan harapan. Sementara rentenir setiap saat lalu lalang di depan mata. Meminjam dari rentenir selain mudah juga cepat dengan syarat yang hampir tak ada. Soal bunga yang menjerat leher, memang jadi masalah, tetapi pilihan sekali lagi terbatas.
Itulah sebabnya sektor ekonomi riil di desa sulit sekali bergerak karena salah satunya keterbatasan modal kerja atau usaha. Meminjam uang di rentenir untuk usaha saja terlalu beresiko karena bunganya yang besar apatah lagi jika pinjaman itu digunakan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif. Dan konyolnya lagi, sebagian besar nasabah para rentenir ini adalah para buruh tani yang memang meminjam sejumput uang untuk keperluan belanja rumah tangga (konsumtif) ketimbang kepentingan produktif untuk usaha atau kerja. Fakta semacam ini menjadikan para buruh tani semakin terpuruk ke dalam kesulitan ekonomi dan semakin tak punya harapan untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Untuk itu, saya pikir para buruh tani ini memerlukan hadirnya lembaga keuangan yang dapat meningkatkan akses mereka terhadap keuangan syukur-syukur yang mampu mendorong mereka untuk permodalan dengan syarat yang mudah mereka penuhi. Lembaga keuangan semacam itu sangat mendesak di perbanyak di Desa Cidenok dan dikelola oleh dan untuk masyarakat desa sendiri, dan bisa bersifat inklusif dalam melayani para buruh tani ini. Keuangan inklusif dapat diterjemahkan sebagai suatu keadaan di mana semua orang mempunyai akses atas jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya terjangkau dan dengan cara yang mudah. Sementara selama ini, yang memiliki akses tersebut sangat terbatas, sehingga mereka yang dapat mengakses jasa keuangan terkesan eksklusif.
Dalam konteks inilah kehadiran Badan Keuangan di desa menjadi penting. Harus lebih banyak lagi lembaga-lembaga keuangan yang mudah diakses dan mendorong para buruh ini untuk keluar dari jerat rentenir. UPK yang menjadi salah satu lembaga keuangan harus mampu menjadi alat atau wadah pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat desa dengan berbasis pada kemampuan lokal dan bersifat inklusif dalam pelayanannya. Inklusif dalam pelayanan dalam artian bahwa UPK misalnya tidak membuat aturan main yang terlalu berbelit-belit, atau misalnya mengijinkan mereka datang ke kantor UPK dengan memakai sarung dan sandal jepit. Ini menunjukkan bahwa UPK bersikap inklusif, bersahabat dengan kearifan lokal, dan bukannya bersifat seperti bank misalnya yang pelayanannya yang memang dirancang berprilaku eksklusif.
Oleh sebab itu, saya selaku manajer UPK Cidenok Mandiri Sejahtera di Desa Cidenok ini sebisa mungkin untuk bersikaf inklusif dan kondisional dengan keadaan yang terjadi dan terlihat di lapangan. Memang belum sepenuhnya berhasil. Tapi, jika dibanding dengan lembaga-lembaga keuangan desa seperti PPK, BUMDES, Lumbung Pangan, dan sebagainya, saya rasa lembaga yang saya kelola masih sangat jauh lebih baik dilihat dari ketepat sasaran dan pengembalian pinjaman jika dibanding dengan lembaga-lembaga keuangan yang sudah lebih dulu ada di Desa Cidenok dan sekarang nasibnya entah bagaimana itu. Bukan bermaksud memuji hasil kerja sendiri, tapi bukankah progress itu salah satunya adalah dengan menengok cermin yang sudah lebih dulu ada.
Kembali ke soal buruh tani dan budaya laten meminjam ke tukang ijon, kedepannya UPK yang saya kelola ingin dapat diakses oleh para buruh tani ini. Saya ingin mereka tahu bahwa di Desa Cidenok ini ada lembaga simpan pinjam yang jauh lebih manusiawi dibanding para tukang ijon tapi dengan kemudahan yang setara dengan ketika mereka meminjam ke para rentenir itu, baik soal cara bayar, alat pembayaran, dan bahkan durasi pinjamannya.
Tapi tentu, mimpi ini akan sangat susah diwujudkan tanpa adanya bantuan dan sokongan dari berbagai pihak. Untuk itu kedepannya saya mengundang keterlibatan berbagai pihak yang peduli dengan nasib para buruh tani ini untuk bersama-sama mewujudkan mimpi luhur ini, demi cita-cita bersama: Cidenok bebas rentenir yang Insya Allah pada akhirnya kemakmuran segenap masyarakat desa Cidenok ini benar-benar terwujud.
Semoga ini bukan cuma mimpi saya. Semoga ini menjadi mimpi kita bersama untuk menjadikan Desa Cidenok Bebas Rentenir. Selebihnya, mari saling bekerja sama untuk mewujudkan mimpi ini.
0 comments:
Post a Comment