Sebuah catatan kecil untuk men-support lahirnya satu organnisasi anak muda dengan visi kedepan begitu seksi yang digawangi Ayunk, dkk.
Seorang penjaga gawang adalah seorang yang soliter, tapi ia juga seorang yang solider: ia seorang yang paling tersisih tapi ia hadir dalam sebuah kesetiakawanan. Ia mungkin sang kapten kesebelasan, tapi dalam sebuah permainan yang agresif, ia jarang sekali sang pemberi arah, irama, ataupun semangat timnya di medan pergulatan. Ia teramat jauh di garis belakang.
Soliter, solider: sering saya berpikir bahwa penjaga gawang bisa bercerita banyak tentang hidup. Ada seorang yang bercerita banyak tentang hidup dengan tema itu, dan itu adalah Albert Camus, mungkin satu-satunya sastrawan yang pernah mengatakan bahwa ia mendapatkan pelajaran moralitasnya dari olahraga.
Dari sini pula ia melihat kita, manusia: makhluk yang hidup antara "keterbuangan" (l'exil) yang sunyi dan "kerajaan" (le royaume) yang membuat betah. Sebab kebersamaan terus menerus punya batas dan bahayanya: totalitas itu tak hendak mengakui bahwa pada akhirnya manusia berdiri sendiri di gawang di ujung garis itu. Tapi keterasingan bukanlah hidup.
Camus menampik solidaritas yang jadi penindasan (ia menolak komunisme) sebagaimana ia menolak usaha bersama yang menjadikan manusia cuma elemen sebuah tim yang habis-habisan memenangkan sejarah (ia mengecam revolusi).
Tapi ia bukan penganjur sikap pasif seorang penonton: ia menyambut sebuah bentuk perjuangan yang--seperti pertandingan bola--tak dimaksudkan untuk menghabisi musuh. Ia menyebutnya "pemberontakan" , sebuah perjuangan yang keras yang justru untuk melahirkansebuah dunia bersama. Kata-kata terkenal dalam L'homme revolté adalah: "Aku berontak, maka kita ada."
0 comments:
Post a Comment