Si miskin dengan usaha kecilnya untuk bertahan hidup merupakan bagian dari diri saya. Mereka adalah saya dan ribuan penduduk Cidenok lainnya. Kami, pelaku usaha kecil, warung-warung kecil yang bertebaran di tiap-tiap sudut di Desa ini merupakan denyar nadi ekonomi rakyat yang memiliki peranan penting dalam kemandirian ekonomi pedesaan. Oleh karenanya, saya selalu dan mengusahakan berbelanja di warung-warung kecil ini, dan belanja ke toko-toko besar hanya jika barang yang saya butuhkan itu tak terdapat di warung kecil tersebut. Mahal sedikit buat saya tak masalah, toh saya juga tahu bagaimana rasanya berdagang kurang modal. Saya juga tahu bagaimana rasanya bersikeras menjual barang dengan harga yang sama seperti di toko besar.
Dan saya juga tahu, kendala terbesar dari warung kecil ini adalah soal modal untuk menopang keberlangsungannya. Mereka begitu menginginkan sebuah kucuran dana segar yang bunganya tak begitu menjerat leher. Tapi apalah daya, bank hanya butuh nasabah yang mampu menggadaikan selembar surat bernama sertifikat atas nama agunan. Maka, musuh bersama sekaligus juga dewa penolong dari warung-warung kecil ini adalah bank-bank liar berkedok koperasi yang menawarkan pinjaman dengan bunga selangit. Bank harian, begitu mereka kerap menyebutnya. Menjadi dewa penyelamat, karena hanya merekalah yang bersedia meminjamkan sejumput uang tanpa rewel dengan agunan dan pertanyaan macam-macam. Tapi, sekaligus juga mereka menjadi semacam ular geladak yang mematok mangsanya dengan bunga yang sedemikian menjerat leher. Bunga 25% untuk jangka waktu satu bulan. Lintah darat modern yang diinginkan sekaligus tak diinginkan.
Oleh karenanya, saya selalu punya mimpi yang romantis dengan mereka. Andai saja ada seorang dermawan yang tak melulu mengejar profit mau mengalokasikan sebagian hartanya untuk pinjaman bergulir bagi warung-warung kecil ini, yang tentu saja dengan bunga yang rendah. Dengan pinjaman meniru kemudahan bank harian tapi dengan mematok bunga rendah diharapkan para pelaku usaha kecil itu bisa lebih mampu mengatur arus keuangan yang pada gilirannya lebih bisa memajukan usahanya.
Untuk tahap pertama, tiap-tiap warung bisa dipinjami modal sebesar Rp. 1.000.000, setelah kemudian secara bertahap, dengan berbagai pertimbangan dan kesanggupan membayar, pinjaman mereka dapat dinaikkan. Dengan begitu, diharapkan para lintah darat itu pada akhirnya kekurangan nasabah dan kemudian semuanya pergi dari kampung ini.
Semoga, semoga orang-orang seperti itu ada di desa ini. Kita semua berharap.
0 comments:
Post a Comment