Entah ini kesalahan siapa, kami sendiri bingung menyikapi kenyataan kondisi di Desa Cidenok tercinta ini perihal praktek-praktek rentenitas di sini yang begitu laten. Saya pribadi yang punya warung pulsa kecil-kecilan di pinggir jalan yang kebetulan merupakan jalan utama dimana menjadi arus mobilitas warga Cidenok harus mengelus dada karena nyaris tiap hari menyaksikan sebuah pemandangan yang ‘nggak banget’ yakni melihat lalu lalangnya para rentenir busuk berkedok Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa) beroperasi dengan sasarannya ibu-ibu rumah tangga dan warung-warung kecil yang bertebaran di sudut-sudut wilayah Cidenok.
Jika Anda tak percaya, sesekali, seminggu penuh nongkronglah dari pagi sampai sore di warung-warung kecil, dan Anda akan dapati betapa praktek-praktek rentenir itu begitu menggurita di sini. Bank harian, begitu mereka menyebutnya, hitunglah berapa orang yang wara-wiri di sini menagih hutang pada warung-warung kecil. Anda tahu berapa bunga yang dipatok oleh bank harian pada nasabahnya? Untuk pembulatan hutang 1.000.000, tiap harinya nasabah akan ditagih sebesar 50.000 selama 25 hari. Belum potongan sebesar 70.000 begitu Anda deal berhutang pada mereka. Bayangkan, dalam 25 hari hutang yang 1000.000 itu harus dibayar 1.250.000. 25% untuk waktu yang relatif singkat! Kenapa mereka mau berhutang dengan bunga yang sedemikian tinggi? Karena tentu saja tak ada pilihan lain! Program-program seperti KUR, dana simpan pinjam dari PNPM, simpan pinjam kelompok, dan sebagainya yang berbunga rendah itu apa tak pernah menyentuh mereka? Nggak ngerti saya kalau soal itu, tanyalah sendiri pada orangnya.
Apakah hutang-hutang dengan bunga sedemikian tinggi itu, kemudian bisa mensejahterakan hidup mereka? Apakah hutang-hutang itu membuat usaha mereka jadi lebih maju? Kalian lihat sendiri bagaimana perkembangan warung-warung kecil itu. Kalau sudah begini siapa yang salah? Siapa yang harus disalahkan? Apa tidak sebaiknya bank harian-bank harian itu dilarang saja beroperasi di wilayah ini, kemudian beri nasabah, atau paling tidak kasih jalan pada mereka untuk berhutang pada bank resmi yang memiliki tingkat suku bunga lebih manusiawi? Yang lebih bisa memberdayakan mereka. Kalau pak kiyai sekedar gembar-gembor di toa yang diset maksimal dan penuh semangat berteriak “riba itu haram! Riba itu menyengsarakan!!” dan sebagainya, tentu tak akan mempan.
Orang lapar tak butuh ayat dan dalil, tapi yang mereka butuhkan adalah solusi untuk mereka melanjutkan hidup. Dengan embel-embel apapun, dengan label bagaimanapun, bukankah bank harian-bank harian itu rentenir dan lintah darat? Kenapa dibiarkan menghisap darah saudara kita sendiri? Senang melihat kehancuran saudara sendiri yang terpuruk dalam hutang? Jangan-jangan motif dari pembiaran beroperasinya rentenir modern itu adalah ini; senang melihat mereka tercekik dalam timbunan hutang hingga tak sempat lagi untuk berfikir macam-macam.
Akhir kata, mari bergandeng tangan, mari saling menguatkan, dan mari saling merangkul, karena kita semua bersaudara.
0 comments:
Post a Comment