Home » , , , , , » Semangat Dibalik Berdirinya Koperasi di Cidenok

Semangat Dibalik Berdirinya Koperasi di Cidenok

Written By UPK Cidenok on Thursday, March 27, 2014 | 1:11 PM

Seorang ekonom terkemuka dunia yang berasal dari Peru, Hernando de Soto, melalui bukunya The Mystery of Capital; why capitalism triumphs in the west and failed in everywhere else? Menyatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah tidak terdapatnya kepemilikan yang legal oleh orang miskin atas aset-aset produktif, seperti kepemilikan yang sah atas tanah dan bangunan. Sehingga orang miskin tersebut tidak dapat optimal menggunakan aset, baik untuk melakukan proses jual beli, sewa menyewa, termasuk untuk mengagunkan tanah dan bangunan yang mereka pakai. Sehingga aset yang mereka miliki menjadi aset yang menganggur dan tidak dapat menggerakkan roda ekonomi mereka.

Kritik tersebut tampak berkaitan erat dengan kondisi kemiskinan yang ingin saya ulas di sini. Orang-orang miskin tidak dianggap layak untuk mendapatkan kredit oleh bank. Alasannya adalah tidak adanya aset yang dapat dijadikan jaminan oleh pihak Bank, apabila terjadi default (gagal bayar). 

Alasan-alasan tersebut berlaku nyaris di semua bank di Indonesia, baik itu bank swasta, perusahan daerah, bahkan bank pemerintah sekalipun. Yang mereka kejar hanya profit dan keamanan akan aset mereka sendiri. Mereka masih enggan untuk mengakui (melegalkan) aset-aset yang orang miskin miliki, sehingga kesulitan orang miskin untuk mendapatkan kredit masih kerap akan dijumpai sampai kapanpun.

Koperasi, Sebuah Titik Balik
Saya yang mengelola program simpan pinjam dari PNPM dan mengkhususkan diri pada pemberian pinjaman untuk usaha kecil kalangan bawah ini pernah suatu kali berbincang dengan seorang ibu-ibu pembuat tusuk sate dari bambu. Waktu itu mereka baru saja melunasi pinjaman mereka kepada kami, tapi entah kenapa mereka enggan untuk mengajukan pinjaman baru. Saya pada awalnya sangat bahagia mereka tak lagi membutuhkan pinjaman, karena dalam pola pikir saya waktu itu, barangkali mereka sudah cukup modal untuk membeli bahan baku hingga akhirnya tak perlu lagi meminjam kepada UPK. 

Ternyata saya keliru. Mereka enggan meminjam lagi karena mereka takut dengan aturan tanggung renteng yang diberlakukan di UPK. Alasannya sederhana saja, mereka takut kalau-kalau harus ikut menanggung hutang teman satu kelompoknya apabila ada salah satu dari mereka tak membayar pinjamannya. “Jangankan untuk ikut menanggung pinjaman orang lain, untuk biaya hidup diri dan keluarga sendiri saja rasanya sudah empot-empotan,” begitu katanya.

Saya berkata, “Kalo sekiranya teman ibu dalam kelompok itu ternyata agak-agak susah mengembalikan pinjaman, ya nggak usah diajak lagi, bu. Cari teman yang lancar-lancar saja.”

“Ya nggak bisa begitu, mas. Mereka itu tetangga-tetangga saya. Kalo saya dapat mereka nggak, ya saya nggak enak sama mereka.”

Dari sini, obrolan berlanjut ke soal usaha mereka. Saya bertanya pada si ibu tersebut; “Berapakah harga bambu ini?”, si ibu menjawab; “Sepuluh ribu.” Saya kembali menyahut; “Apakah ibu mempunyai uang sepuluh ribu?”, lalu dijawab kembali; “tidak, saya pinjam bambunya dari perantara (tengkulak), syaratnya adalah saya harus menjual kembali biting tusuk yang saya buat kepada mereka untuk membayar pinjaman saya”.

Saya kembali bertanya; “Lalu ibu jual kembali berapa harga bitingnya?”, si ibu menjawab, “Dari satu batang bambu, hasilnya saya jual tujuhpuluh ribu rupah”. Sehingga dari pembicaraan tersebut, diketahui keuntungan si Ibu dari membuat biting tusuk sate dari bambu tersebut hanyalah enampuluh ribu rupaih. Padahal mereka mengerjakan tusuk sate untuk 1 batang bambu itu memerlukan waktu sekitar 3 hari.

Dalam perbincangan lebih lanjut, diketahui bahwa dirinya tidak dapat meminjam uang kepada rentenir. Karena menurutnya “rentenir meminta banyak, orang yang berurusan dengan mereka hanya akan bertambah miskin; kadang mereka meminta (bunga) sepuluh persen per minggu, akan tetapi ada tetangganya yang terkena sepuluh persen per hari”.

Perbincangan dengan si ibu tersebut membuat saya tertegun dan berpikir keras. Saya sadar bahwa sangat sulit bagi si ibu beserta keluarganya untuk hidup dengan uang sebesar 20.000 per hari. Uang tersebut tidak akan dapat ia gunakan untuk menyekolahkan anak-anaknya guna memutus mata rantai kemiskinan, tidak pula cukup untuk membeli pakaian layak pakai, karena uang sebesar itu hanya cukup untuk kebutuhan makannya sendiri saja. Tampaknya, para pengepul itu hanya ingin mememastikan bahwa dia membayar si ibu sekedar cukup untuk menutup ongkos bahan baku dan membuatnya tetap hidup.

Gundah dengan kejadian tersebut, keesokan harinya saya bersama satu teman membuat survey kecil-kecilan dan mengumpulkan data. Dari data tersebut, ada berapa orang seperti si ibu di desa ini serta berapa jumlah kredit yang mereka butuhkan. Belakangan diketahui mereka berjumlah sekitar 92 orang, yang sebagian diantaranya terjerat belitan rentenir, bank harian, dan tukang ijon. Maka akhirnya saya ngobrol dengan istri bahwa mereka perlu dibantu. Dengan persetujuan istri saya berhasil memberi pinjaman kepada beberapa dari mereka, dan membolehkan mereka untuk membayar hutang tersebut kapan saja mereka mau.

Sikap tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan saya bahwa orang-orang seperti ibu itu bukanlah orang yang bodoh dan malas, juga bukan orang yang tidak mempunyai keahlian sehingga perlu dikasihani. Mereka miskin karena mereka tidak diberi kesempatan dan kepercayaan dari lembaga-lembaga finansial untuk mengembangkan basis ekonominya.

Belakangan, saya sadar bahwa hal tersebut adalah respon reaktif dan emosional. Sehingga saya berpikir alangkah indahnya jika di desa ini ada institusi yang dapat dijadikan sandaran yang berkelanjutan oleh masyarakat kecil tersebut.

Saya akhirnya memutuskan untuk berkomunikasi dengan bu Elis, salah seorang fasilitator kelurahan dari PNPM. Inti dari obrol-obrolan ini adalah meminta saran kepada beliau terkait dengan kondisi di atas. Akan tetapi sang faskel mengatakan bahwa berdasarkan aturan di PNPM yang memang sudah baku tidak memperbolehkan peminjam secara sendiri-sendiri, melainkan harus merkelompok. Tapi kabar baiknya adalah, bu Elis merespon keinginan saya untuk membantu orang-orang tersebut melalui lembaga lain diluar PNPM. “Koperasi”, itulah solusi yamg beliau tawarkan.  

Atas tawaran tersebut, saya setuju. Dan bermula dari kami berdua, kemudian bertambah 1 orang lagi, kami urunan mengumpulkan dana yang masing-masing berjumlah 500.000 untuk digulirkan kepada 3 orang pelaku usaha kecil yang membutuhkan modal. Mekanismenya, beberapa mengadopsi dari PNPM tapi beberapa lainnya berdasarkan kondisi yang ada di lapangan. Sedangkan untuk masalah agunan, saya berpikir yang kemudian diamini oleh teman lainnya: 

“Mereka (orang-orang miskin) perlu menjual sesuatu guna memperoleh penghasilan buat dimakan. Mereka sangat punya alasan untuk membayar kembali (ke koperasi), yakni untuk mendapatkan pinjaman lagi dan bisa melanjutkan hidup esok harinya. Itu adalah jaminan terbaik yang koperasi bisa dapat; nyawa mereka.”

Kedepannya, saya ingin yang dijinkan untuk menjadi nasabah koperasi kami ini adalah perempuan-perempuan yang berada dalam kondisi miskin ekstrim. Dipilih perempuan karena secara sosial ekonomi di Cidenok ini dianggap terbukti lebih mandiri dan mempunyai pikiran jangka panjang (untuk menyiapkan kehidupan yang lebih baik kepada anak anaknya) dibanding laki-laki, yang saya pikir lebih egositis. Dipilih yang miskin ekstrim karena anggapan saya (semoga tidak meleset) merekalah orang-orang yang mempunyai semangat luar biasa untuk berjuang keluar dari kemiskinan.

Dan karena semua anggota koperasi ini memang bukan orang-orang mata duitan yang hanya mengejar profit, saya juga ingin mekanisme kerja koperasi inipun tak melulu untuk mengejar laba dan harus menjadi kebalikan dari bank konvensional, seperti persyaratan yang mudah, cepat dan tidak bertele-tele, dan harus inklusif dalam pelayanan. Inklusif dalam arti nasabah boleh berurusan dengan koperasi kapanpun mereka mau, tak perlu pakai baju bagus dan rapi (boleh datang ke koperasi sambil sarungan misalnya), dan kemudahan-kemudahan lainnya.

Hal lain yang juga berbeda dengan bank konvensional yakni mengenai mekanisme pembayaran cicilan hutang kredit yang sangat fleksibel. Terserah mereka maunya seperti apa. Jika mereka lebih nyaman membayar secara harian agar tak memberatkan, silahkan. Mereka ingin membayar musiman karena berprofesi sebagai buruh tani, monggo. Angsuran pinjaman ingin ditagih ke rumah oleh petugas koperasi, siap. Intinya, semua berdasarkan kesepakatan dan kemampuan mereka.

Dan setelah berjalan 1 bulan, kini koperasi ini dapat tambahan 2 anggota baru, dan sudah menggelontorkan kredit kepada 5 orang nasabah yang masing-masing pinjamannya berjumlah 500.000.

Nah, akhir kata, kami masih menunggu anggota-anggota baru yang memiliki niat yang sama untuk bisa membantu sesama. Untuk anggota baru, kami mematok kepada anggota baru tersebut 50.000 untuk simpanan pokok (sekali selama menjadi anggota), simpanan wajib Rp. 20.000/bulan, dan simpanan sukarela. Kami tunggu partisipasi kalian....  
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : BPD Desa Cidenok | P2KP | PNPM Mandiri
Copyright © 2013. UPK Cidenok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger